Subsidi
Silang Antara BBM Dan Bioethanol Sebagai Orientasi Pembangunan SDG’s 2030
Oleh: Fauwaz Ahmad Raihan
Dewasa
ini aktifitas sehari-hari masyarakat Indonesia tidak dapat lepas dari penggunaan
konsumsi BBM (Bahan Bakar Minyak). Pada umumnya BBM digunakan masyarakat sebagai bahan bakar kendaraan,
faktor produksi dan aktifitas ekonomi lainnya. Keberadaan BBM menjadi sangat
vital dan tidak dapat dipisahkan oleh aktifitas perekonomian Indonesia saat ini.
Hal tersebut memberikan efek kelebihan permintaan BBM dalam negeri sering kali
terjadi atau bisa disebut Over Demand.
Berdasarkan data yang dikutip dari (Tambang.co.id)
kebutuhan konsumsi BBM pada tahun 2016 meningkat sebesar 72,1 Jt KL dibandingan
dengan tahun 2015 yang hanya sebesar 50 Jt KL (Republika.co.id) peningkatan ini akan terus terjadi seiring dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus membaik. selain itu ada beberapa
faktor yang menyebabkan konsumsi BBM meningkat, pertama fluktuatifnya harga
minyak bumi di pasar internasional (baik mengalami peningkatan maupun
penurunan) yang merubah perilaku produsen dan konsumen dalam mengkonsumsi BBM
dan kedua peningkatan jumlah kendaraan khususnya berroda empat dari tahun ke
tahun.
Di
tahun 2011 tedensi harga minyak bumi di pasar internasional mengalami
fluktuatif yang cenderung mengalami kenaikan. Seperti harga Minyak Brent dan
Indonesia Crude Oil Price (ICP) berada pada level harga sebesar 100 USD per
barel dan rata-rata harga minyak mengalami kenaikan sebesar 110 USD atau 40%.
Padahal jika dibandingan dengan tahun 2010 rata-rata harga minyak hanya sebesar
79 USD per barel tentunya kenaikan harga minyak dalam 1 tahun terakhir dapat
dikatakan sebagai inflasi. Fluktutifnya harga minyak tentu tidak lepas dari
aksioma yang berlaku pada hukum timbal balik. Di dalam kasus ini hubungan
tersebut tercermin pada mekanisme hukum Supply
and Demand (Penawaran dan Permintaan) sebagai salah satu faktor fundamental
(Nizar, 2002).
Gambar Grafik Fluktuatif
Harga Minyak Dunia 2012-2017.
Sumber Data: Indexmundi 2017.
Berdasarkan
data yang dikutip dari Indexmundi 2017, menunjukan fluktuatifnya harga BBM dari
tahun ke tahun. Jika kita berbicara dari perspektif Penawaran (Supply) fluktuatifnya harga minyak bumi
tidak lepas dari ketersediaan stock di tiap-tiap negara produsen baik negara
yang tergabung dalam Organization of
the Petroleum Exporting Countries (OPEC) maupun non-OPEC. Kapasitas investasi,
produksi, infrastruktur kilang erat kaitannya dengan ketersediaan atau stok
minyak dunia di pasar internasional (Kesicki, 2010 dan Breitenfellner et al.,
2009).
Gambar Tabel Produksi Minyak Bumi Indonesia Tahun
2006-2015.
Gambar Tabel Konsumsi Minyak Bumi Indonesia Tahun
2005-2015.
Sumber Data: BPS,
dilansir oleh Indonesia Investment 2016.
Berdasarkan
data konsumsi dan produksi minyak bumi di Indonesia terdapat Gap atau celah antara konsumsi dan
produksi dari tahun ke tahun. Seperti pada tahun 2015 memiliki selisih antara
produksi dan konsumsi sebesar 803 Bpd (Barel Per Day) selisih tersebut
hampir 100% dari total produksi di tahun yang sama. Kurangannya pasokan minyak
indonesia salah satunya disebabkan belum tereksplorasinya seluruh cadangan
minyak bumi Indonesia. hal tersebut terkendala karena cadangan minyak Indonesia
berlokasi di laut dalam yang membutuhkan investasi modal yang besar dan
teknologi maju dalam berproduksi (Lifting).
Berdasarkan sebuah publikasi, Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar
5,9 miliar barel pada tahun 1991 dan menjadi 3,7 miliar barel di tahun 2014.
Munculnya
Gap dari selisih antara produksi dan
konsumsi minyak bumi, menjadi pekerjaan rutin pemerintah. Akhirnya pemerintah
harus menambal celah tersebut melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN), Akibatnya APBN Indonesia sering kali mengalami defisit. Defisitnya APBN
Indonesia tidak lepas dari tekanan permintaan (Over Demand) BBM domestik yang saat ini masih di subsidi oleh
pemerintah. Padahal kebijakan subsidi tersebut ditargetkan untuk kelas kalangan
menengah kebawah, akan tetapi kebijakan ini justru dinikmati oleh kalangan
menengah ke atas dengan kata lain salah sasaran (Missing Policy).
Gambar
Grafik Struktur Belanja Subsidi dalam APBN.
Sumber: Biro Analisa Anggaran dan
Pelaksana APBN.
Selain kebijakan subsidi BBM yang salah sasaran kebijakan
tersebut juga sangat membebani APBN tiap tahunnya. Misalnya di tahun 2006
belanja subsidi BBM sebesar Rp64,2 triliun, dalam kurun waktu 2 tahun yakni
2008 subsidi BBM mengalami kenaikan sebesar Rp139,1 triliun, 2013 meningkat
menjadi 199,9 triliun dan 2014 menjadi Rp246,5 triliun dalam APBN-P 2014,
akibatnya ruang fiskal APBN menjadi terbatas dan menyebabkan hilangnya
terobosan-terobosan pembangunan khususnya infrastruktur. Akan tetapi di tahun
2015 belanja subsidi BBM mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni sebesar
Rp81,8 triliun, hal ini tidak lepas dari adanya gejolak penurunan harga minyak
di pasar internasional.
Hingga hari ini harga minyak bumi dirasa masih stabil yakni
berkisaran 49,40 Bpd (Kompas, 31 maret
2017), tentu hal tersebut memberikan ruang nafas belanja subsidi BBM pada
APBN tahun 2017. Lazimnya penurunan harga minyak bumi secara global seharusnya
menjadi Chance Pemerintah dalam
mengembangkan energy terbarukan di tengah Uncertainity
faktor non-fudamentalis yang dapat mengganggu pasokan minyak dunia seperti
Infrastruktur, Geopolitik dan Spekulasi. Selain itu pengembangan energy
terbarukan merupakan salah satu gagasan dari Sustainable Development Goal’s 2030.
Biofuel ternyata dapat menjawab tantangan dunia di tengah era
Sustainable Development Goal’s 2030
yang dicanangkan di markas besar PBB, New York pada 25 September 2015.
pembangunan yang berkelanjutan (Sustain)
menjadi pedoman tiap negara global dalam membangun 3 dimensi secara universal yakni
lingkungan, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan. Dari 17 Goals yang
terdapat dalam SDG’s salah satunya adalah Energy Bersih dan Terjangkau (Affordable And Clean Energy) yang
terdapat pada nomer Goals ke-7.
Biofuel
merupakan bahan bakar yang diperoleh dari Biomassa organisme atau produk dari
organisme tersebut (Nabati). Adapun beberapa jenis Biofuel yang dikeluarkan
oleh Kementerian ESDM yakni Biodiesel, Bioethanol, Biooil (Biokerosin &
Minyak Bakar) dan Bioavtur. Bioethanol memiliki penggunaan yang khusus untuk
pengganti BBM sedangan Biodiesel untuk pengganti Solar, Bioavtur pengganti
Avtur, Biokerosin pengganti minyak tanah dan Minyak Bakar pengganti IDO (Industrial Diesel Oil). Jika kita
membandingkan Bioethanol dengan minyak konvensional tentu Bioethanol jauh lebih
unggul dari segi gas buang. Bioethanol yang berasal dari jagung akan mengurangi
tingkat emisi CO2 sebesar 22% sedangkan untuk bahan dasar tebu
mengurangi emisi CO2 sebesar 56%.
Akan
tetapi Bioethanol tidak dapat menjadi bahan bakar utama sebab ethanol tetap
harus dipadukan oleh BBM dengan rasio ethanol:bensin 60:40 sehingga akan
mengefisiensikan kinerja mesin sebesar 10% (Yuksel dkk, 2004). Penggunaan
Ethanol murni pada mesin yang ditujukan oleh bahan bakar bensin memerlukan
beberapa perubahan didalamnya. Saat temperatur rendah ethanol akan sulit
melakukan pengapian sehingga mesin tidak akan terangkat (Starting). Maka diperlukanlah bensin sebagai campuran ethanol
dengan rasio yang ideal.
Pemakaian
ethanol secara massif akan mengurangi ketergantungan negara dalam mengimpor BBM
dari luar. Hal tersebut akan memberikan ruang fiskal yang cukup untuk APBN
dalam menjalankan program pembangunan yang selama ini terhambat karena beban
subsidi BBM. Di dasarkan oleh SDG’s 2030 nyatanya Indonesia masih tidak siap
dengan penggunaan subsidi ethanol dan masih pada penggunaan BBM konvensional.
Gambar
Proyeksi Kebutuhan Bioethanol 2014-2025.
Sumber: Kementerian ESDM, Buku Informasi Energy.
Berdasarkan
data diatas kebutuhan BBM bensin dari tahun 2015 hingga 2025 mengalami kenaikan
yang cukup signifikan. Sedangkan kebutuhan ethanol sebagai bahan bakar
pengganti bensin masih rendah, bahkan Gap
antara kebutuhan bensin dan ethanol hampir berkisar 41,52. Ketidaksiapan
Indonesia juga tertuang pada Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan
Energy Nasional yakni Target BBN (Bahan Bakar Nabati) Pada Tahun 2025 Hanya
sebesar 5% dari Bauran Energy Nasional. Seharusnya dalam rangka mencapai Sustainable Development Goal’s 2030
pemerintah Indonesia membutuhkan ethanol sebanyak 31.14 pada proyeksi 2025
dengan asumsi rasio ideal 60:40.
Apabila
hingga 2030 pemerintah tidak menyiapkan ethanol sebagai subsidi silang dengan
BBM bensin maka tidak akan ada yang menjamin ketersediaan ruang fiskal tahun
2030 akan lebih baik dari pada tahun 2017 sebab pemerintah harus menyadari OPEC
adalah dalang dibalik terjadinya fluktuatif pada harga minyak bumi di pasar
dunia. Pemanfaatan ethanol tentunya dapat mengurangi ketergantungan impor BBM domestik
sebesar 30% dari total belanja subsidi. Selisih persentase tersebut dapat dialokasikan
untuk program strategis Indonesia dalam melakukan pembangunan kesejahteraan
masyarakat yang berorientasi Sustainable
Development Goal’s 2030.
Keputusan
pemerintah Indonesia bergabung dengan OPEC tidak sepenuhnya putusan yang salah
akan tetapi bukan putusan yang tepat juga. pemerintah Indonesia harus sadar
bahwasannya OPEC adalah otak “Kartel” minyak dunia yang dapat mengatur harga
dengan memainkan jumlah Supply
persediaan minyak, walaupun Indonesia kembali bergabung dengan OPEC di akhir
tahun 2015 hal tersebut tidak memberikan Comfort
Zone bagi Indonesia khususnya postur subsidi BBM dalam APBN. Seharusnya
Indonesia memfokuskan diri dalam pengembangan energy terbarukan khususnya
Bioethanol yang dapat berperan sebagai subsidi silang dengan BBM konvensional.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya seharusnya kita
menjadi negara paling berdaulat di dunia khususnya energy terbarukan.
Daftar
Pustaka:
Afdi
Nizar, Muhammad. 2012. The Impact of
World Oil Prices Fluctuation on Indonesia’s Economy. Pusat Kebijakan
Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI.
http://www.indexmundi.com/commodities/?commodity=crude-oil&months=60.
Diakses pada 1 April 2017.
http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-bumi/item267?.
Diakses pada 1 April 2017.
Nursanti,
Martiasih. Apakah Subsidi BBM Beban Berat
Bagi APBN?. Biro Analisis Anggaran dan Pelaksana APBN-SETJEN DPR RI.
Tri Haryanto, Joko. 2015. Penguatan Anggaran Infrastruktur. Badan Kebijakan Fiskal,
Kementerian Keuangan RI.
Diakses
pada 1 April 2017.
Utami Handayani, Sri. Pemanfaatan Bio Ethanol Sebagai
Bahan Bakar Pengganti Bensin. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=21676&val=1265. Di akses pada 1 April 2017.
Buku Informasi Bio-energy. Kementerian Energy dan
Sumber Daya Mineral RepublikIndonesia. http://aplikasi.ebtke.esdm.go.id/lintasebtke/bioenergi/upload/file/Buku_Informasi_Bioenergi.pdf. Di akses pada 1 April 2017.
membantu sekali kak infonya
ReplyDeleteaxis co id