Fatamorgana Pembangunan
Sebagai rakyat dan sebagai mahasiswa pula kita
memiliki tanggungjawab secara tidak langsung dalam mengawal keberlangsungan
atas program atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan bersama bangsa Indonesia. Salah satu tujuannya secara implisit adalah
menciptakan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat indonesia.
Ada tiga fokus utama Pak jokowi dalam membangun
indonesia yaitu, pertama, Infrastruktur, kedua, Pembangunan Manusia, ketiga,
Kebijakan Deregulasi Ekonomi. Lantas selama 3 tahun rezim jokowi sudah sejauh
mana aplikasi dan implikasi kebijakan tersebut dalam membangun bangsa ini?
apakah kebijakan tersebut sudah meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat
Indonesia? perlu kita memahami secara komprhensif dan holistik agar dapat
mengevaluasi terkait kebijakan yang telah diaplikasikan oleh pak jokowi beserta
kabinetnya. Mesikipun evaluasi ini akan berfokus pada pembangunan
infrastruktur.
Sumber: Google
Dalam aspek infrastruktur hal yang pertama kita
perlu perhatikan adalah alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur serta
aplikasinya. Sejatinya kita perlu apresiasi kinerja pak jokowi dalam membangun
infrastruktur pasalnya anggaran untuk membangun infrastruktur meningkat secara
signifikan dibandingkan rezim sebelumnya. Di tahun 2015 sebesar Rp 290.3 T,
2016 sebesar Rp 317,1 T hingga 2017 sebesar 387,3 T bahkan di tahun 2018
anggaran untuk infrastruktur sebesar Rp ± 400 T. Komitmen jokowi dalam
memfokuskan pembangunan infrastruktur ternyata membuahkan hasi. Peringkat daya saing
infrastruktur Indonesia meningkat menjadi peringkat 60 besar yang sebelumnya
berada pada peringkat 62 di tahun 2016, 72 di tahun 2015 dan 82 di tahun 2014
(Hadimuljono, Detik, 2017).
Dengan visi pak jokowi yaitu “Membangun Indonesia
Dari Pinggiran” lazimnya pembangunan infrastruktur daerah menjadi kiblat yang
harus dilakukan pemerintah. Implikasi dari meningkatnya kuantitas dan kualitas
infrastruktur di Indonesia tentu mereduksi Disparity (perbedaan), Inequality
(ketimpangan), Asymmetry (kesenjangan) yang terjadi antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya, khususnya wilayah diluar pulau jawa.
Paradigma Javacentris atau terpusatnya pembangunan
yang hanya dipulau jawa harus dihilangkan sedikit demi sedikit. Hal ini
bertujuan untuk menghilangkan kesenjangan sosial yang sudah lama terjadi hingga
hari ini. terpusatnya pembangunan di pulau Jawa justru akan menjadi bomb waktu
di kemudian hari. Jika pembangunan masih terkonsentrasi pada pulau Jawa semata
maka Cohesion (daya tarik) pulau Jawa akan meningkat dibandingkan dengan pulau
lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dll) yang dapat berpotensi migrasi
(Urbanisasi, Transmigrasi dll) yang berlebih, Inequality (ketidakmerataan)
pembangunan, misallocation sumber daya ekonomi serta dampak negatif lainnya.
Salah satu bentuk kerja nyata Jokowi dalam merubah
paradigma tersebut dengan dibangunnya jalan Trans Papua sepanjang Rp 4.330,07
Km yang menghubungkan Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dan membentang
dari kota Sorong (Prov. Papua Barat) hingga Merauke (Prov. Papua). Terlepas
dari polemik yang terjadi seluruh elemen masyarakat Papua perlu mendukung
keberlangsungan pembangunan jalan Trans Papua dalam meningkatkan konektivitas
antar daerah dan mereduksi ketimpangan dan kesenjangan yang terjadi di Papua.
Selama kurun waktu 2015-2019 pemerintah membutuhkan
dana dalam melakukan pembangunan
infrastruktur sekitar ± Rp 4.796
Triliun. Sekitar 41% atau Rp 1.978,6 Triliun akan dipenuhi oleh APBN dan APBD
dan sisanya akan dilakukan dengan skema PPP (Public Private Partnership) atau
KPS (Kerjasama Pemerintah & Swasta). Hingga 2017 baru sekitar Rp 960,7
Triliun atau baru 48% belanja infrastruktur yang dapat terpenuhi dari APBN,
artinya Gap (celah) sekitar ± Rp 2.808,4 Triliun harus terpenuhi melalui
pembiayaan pihak swasta dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat
reformasi birokrasi, tata kelola kelembagaan, Hasil Pengembalian (Return Of
Investment) masih dalam bayang-bayang awan ketidakjelasan dan ketidakpastian.
Sejatinya penulis pesimis dengan target pak Jokowi dalam
mematok fiscal need yang terlalu tinggi dalam melakukan pembangunan
infrastruktur. Pasalnya dalam draf Nota Keuangan RAPBN 2018 anggaran
infrastruktur diperkirakan akan meningkat sebesar Rp 409 Triliun. Jika
diasumsikan anggaran infrastruktur 2018 tepat maka Gap yang tersisa sebesar Rp
608.9 Triliun untuk anggaran infrastruktur 2019.
Menilik ketidakpastian keadaan perekonomian global
yang dalam masa pemulihan (Recovery) lalu rendahnya realisasi penerimaan negara
hingga September 2017 yang baru mencapai Rp 1.098,95 Triliun atau 63,3% masih
menjadi homework yang harus diselesaikan. Kurang dari 3 bulan lagi dunia akan
berganti kalender masehi, sisa 36,7% realisasi penerimaan pajak harus dikejar
dengan cepat untuk memenuhi target penerimaan pajak sebesar Rp 1.498,9 T.
Ancaman shortfall pajak menjadi takdir yang tidak dapat dielak serta terror
defisit anggaran terus menghantui APBN bangsa.
Rasanya pak jokowi perlu melihat realita dalam
mematok target pembangunan ekonomi khususnya infrastruktur. Gap sebesar Rp
608.9 Triliun bukanlah angka yang kecil mengingat Fiscal Power kita yang kurang
tangguh. Hutang menjadi alternatif terakhir untuk mentupi defisit tersebut.
Jerat hutang untuk menambal lebarnya defisit fiskal menjadi solusi dari tahun
ke tahun, endemic (wabah/penyakit) ini perlu kita berantas. Marx berkata “Agama
adalah Candu” maka dalam konteks APBN “Hutang adalah Candu”.
Note: Tulisan ini diupload pada Official Account Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya dan mendapatkan nomer Karya Terbaik dalam opini Mahasiswa.
menarik sekali untuk dibaca
ReplyDeleteaxis customer care