Proteksionisme Trump, Indonesia Harus Bagaimana?
Oleh:
Fauwaz Ahmad Raihan
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis-Universitas Brawijaya
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hiruk-piruk
panggung kemenangan telah usai. Drama permainan akan segera dimulai dalam waktu
dekat ini. Pesta demokrasi akhirnya mengantarkan Donald Trump menjadi orang
nomer 1 di negeri Paman Sam tersebut. Trump berhasil mengalahkan rivalnya yakni
Hillary Clinton pada pemilihan presiden yang dilaksanakan pada tangga 8
November 2016 di Amerika Serikat lalu. Tidak sedikit yang menyayangkannya
kemenangan dan tidak sedikit pula yang mengharapkan kemenangannya. Kemenangannya
seolah telah di atur oleh pihak-pihak yang bermain diatas papan catur dengan
ciamik.
Sebagai
peraih The Man Of The Year oleh
majalah Times Donald Trump terpilih atas ketidakraguan, katanya. pengusaha
nyentrik tersebut memang tidak memiliki sepak terjang dalam dunia kepentingan
beberapa saat lalu tetapi tidak disangka ia mendapat 306 suara dari Partai
Republik dari yang sebelumnya tidak mengunggulkannya menjadi yang diunggulkan.
dirasa Trump menang karena pernyataan-pernyataannya yang pedas, terminologi
yang populis dan rasial, serta faktor-faktor lain yang memecah AS. tidak
disangka prestasinya dalam membuat kehebohan publik mengantarkannya lebih
unggul dari Hillary Clinton yang hanya mendapatkan 232 suara dewan pemilihan.
Trump
dengan gaya bicaranya yang khas serta imej kontroversialnya yang melekat pada
dirinya mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak. Tidak sedikit juga isu-isu
negatif singgah di kehidupan Trump bahkan sesuatu yang tabupun pernah singgah
dan berlabuh dikehidupan trump semisalnya prostitusi. Bahkan Trump sempat
menyinggung dan membahas kesepakatan dengan NATO yang dapat memicu percikan api
di negara Eropa, sebut Inggris, Perancis, Italia, sehingga beberapa pemerhati
politik menilai bahwa Trump tidak konsisten terhadap kebijakannya. Sehingga beberapa
orang menyebut bahwa Trump adalah presiden terburuk untuk Amerika Serikat. Akan
tetapi terlalu cepat menjustifikasi kinerja Trump mengingkat belum 1 semester
Trump menahkodai negara Paman Sam tersebut.
Penolakan
Trump menjadi presiden tidak hanya dari luar AS melainkan dari dalam pun
terjadi. Penolakan Trump sempat menjadi viral di dunia maya kala itu. Hampir
4,7 Juta orang menandatangani petisi online
untuk
menolak presiden Amerika Serikat yang memiliki rambut pirang tersebut. selain
petisi yang secara eksplisit menolak kenaikan Trump sebagai presiden hal
tersebut juga didukung oleh masyarakat AS sendiri tidak puas dengan cara trump
tangani masa transisi pemerintah. Menurut survey Pew Research hanya 41 % orang
Amerika mendukung Trump dalam mengeksekusi setiap kebijakan dan rencana yang di
nazarkan.
Terlepas
siapapun presiden yang terpilih, pengecualian untuk Trump, lazimnya setiap
negara harus menyiamkan amunisi, startegi dan formulasi dengan komposisi yang
tepat dalam menghalau setiap kebijakan yang dianggap merugikan setiap negara.
Ditengah ketidak pastian situasi global kenaikan Trump menjadi presiden Amerika
Serikat justru menambah uncertainity dan Anxiety masyarakat dunia saat ini.
Didalam
salah satu kampanyenya Trump menggalakan kebijakan “Perang Perdagangan” dengan Tiongkok serta menaikan pajak impor dari
Tiongkok dan Meksiko. Tentunya kebijakan “Perang
Perdagangan” atau Proteksionisme yang
diusung dari calon Partai Republik tersebut membuat beberapa negara khususnya
Indonesia siaga. Beberapa Instansi pemerintah kita terus memonitori perkembangan
arah setiap kebijakan Trump tersebut.
Kebijakan
Proteksionisme sendiri menjadi
ketakutan diberbagai pihak. Hal tersebut didukung oleh perekonomian global yang
melemah, perlambatan perdagangan dan investasi serta volatilitas tajam sektor
finansial yang masih akan berlanjut.
Selain Proteksionisme
yang saat ini dikhawatirkan beberapa pihak, kenaikan Trump menjadi Presiden
Amerika Serikat menyebabkan investor menarik dananya dari dalam negeri. hal
tersebut menyebabkan penguatan mata uang dollar terhadap rupiah. Tentunya
ditengah perekonomian yang Uncertainity
penguatan dollar menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi pemerintah untuk
menanganinya. Beberapa pihak sempat mengatakan bahwa penguatan dollar hanya
terjadi sesaat atau jangka pendek. Efek dari penguatan dollar tersebut
menyebabkan penarikan dana asing dari dalam negeri keluar negeri. walau
demikianPemerintah tetap optimis bahwa dana asing akan kembali lagi.
Di penghujung akhir tahun 2016 The Fed
merencanakan untuk menaikan Suku Bunga Acuannya. World bank mengingatkan kepada
negara-negara berkembang terhadap turbulensi pasar keuangan akibat kebijakan
pengetatan moneter. Alhasil efek kenaikan Suku Bunga Acuan The Fed akan
menyebabkan penurunan besar-besaran dana yang diharapkan menjadi harapan bagi
negara berkembang. Dana tersebut sangat diharapkan bagi negara berkembang
seperti Indonesia untuk berjuang akibat volatilitas di pasar finansial global
yang berimbas pada pelambatannya ekonominya.
di
tengah Uncertainity perekonomian,
awalnya Tiongkok menjadi “penyelamat” pada pelambatan ekonomi dunia. Kini
menjadi sumber Uncertainity atas
kebijakan Proteksionisme itu sendiri.
Indonesia sebagai mitra dagang tiongkok menjadi tukang pijat yang buta dan
tidak tau arah harus kemana. Nyatanya Indonesia harus berkaca untuk
mengevaluasi diri menentukan arah tujuan mau kemanakah kita.
“Lalu Indonesia harus bagaimana?”
kendati
secara umum pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat dikatakan baik,
pertumbuhan PDB Indonesia diproyeksi berada pada kisaran 5,1% pada tahun 2016.
Ini lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang hanya sebesar 4,8%.
Tetapi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya indonesia masih dapat
dikatakan tertinggal dengan negara Kamboja, Laos, Myanmar, Filiphina dan
Vietnam yang masing-masing diproyeksikan berada pada kisaran 7,1%, 7%, 8,3%,
6,2% dan 6,3%1 pada tahun 2016.
Namun
dalam menghadapi gejolak perekonomian yang tidak pasti saat ini ditambah dengan
kebijakan proteksionisme, respons
sinyal yang lebih tepat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah meningkatkan
daya saing produktivitas, dan menjadi integral dari rantai nilai global. selain
itu memperkuat kerjasama internasional, integrasi ekonomi, peningkatan
perdagangan, dan investasi dikawasan ASEAN menjadi startegi, antisipasi dan
respons kebijakan yang dinilai sangat tepat agar Indonesia tidak menjadi
bulan-bulanan.
Seperti
yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya Indonesia harus berkaca pada diri
sendiri. kita tidak bisa menyalahkan Trump, pelemahan ekonomi, kenaikan Suku
Bunga Acuan The Fed, dan sebagianya. Sebagian persoalan rendahnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia bersumber dari dalam negeri.
Turunnya
suku bunga yang tidak diikuti naiknya investasi di dalam negeri menunjukan
ketidakpastian yang bersumber dari dalam negri itu sendiri. investor-investor
tetap ragu-ragu dalam merealisasikan investasinya. Disinilah pentingnya
reformasi struktural perekonomian, dimana deregulasi, pembenahan iklim
investasi, dan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu media dalam menghadapi
Uncertainity.
Kenaikan
Suku Bunga Acuan, Proteksionisme, pelemahan perdagangan dan investasi,
pelemahan ekonomi global sepatutnya tidak perlu dikhawatirkan oleh pemerintah
Indonesia. Indonesia hanya perlu berbenah diri dan mengevaluasi diri dari tahun-tahun
sebelumnya untuk melangkah ditahun berikutnya. Indonesia perlu all-out saat ini. Perbaikan regulasi,
peningkatan produktivitas, pencipataan iklim investasi yang kondusif dirasa
belum terlihat hingga fajar ini. Jika Indonesia berkomitmen mengevaluasi diri
kita semua yakin bahwa Indonesia dapat menjadi pemeran utama dalam panggung drama
tuhan saat ini.
-----------------------------------------------------------------------------------Malang,
9 Desember 2016
ijin copy yah kak
ReplyDeletelogo axis